Frequently Ask Question (FaQ)


  • Diagnostic Reference Level (DRL) didefinisikan sebagai suatu nilai dosis atau laju dosis atau aktivitas yang ditetapkan dari suatu data dosis atau laju dosis atau aktivitas hasil pemeriksaan medik dengan sinar-X untuk tiap jenis pemeriksaan.
  • Nilai tersebut digunakan sebagai suatu indikator atau patokan untuk mengidentifikasi dosis-dosis yang berada di atas DRL dan mengambil tindak lanjut untuk menurunkan dosis tersebut sehingga menjadi bawah DRL dengan tetap mempertahankan mutu citra.
  • Terminologi DRL sama dengan tingkat panduan untuk paparan medik sebagaimana disebut dalam PP No. 33 Tahun 2007.
  • DRL sebagai alat investigasi, untuk mengidentifikasi situasi di mana dosis pasien yang sangat tinggi dan yang paling membutuhkan pengurangan.
  • Nilai DRL biasanya mudah untuk diukur dan memiliki link langsung dengan dosis pasien. Sehingga, DRL dibuat untuk membantu mewujudkan manajemen dosis yang efisien & mengoptimalkan dosis pasien.
  • Jika dosis pasien ditemukan melebihi DRL, harus direviu kemungkinan penyebabnya dan opsi tindakan perbaikan yang sesuai, kecuali dosis tsb tidak dapat dihindari & terjustifikasi secara medis.
  • DRL umumnya ditentukan pada nilai kuartil 3 (75 persentil) dari sebaran data dosis yang diperoleh.
  • DRL bukan nilai batas yang menentukan berlebih atau tidaknya dosis yang diterima oleh pasien.
  • Jika nilai dosis yang diperoleh berada di atas DRL maka harus direviu dan dievaluasi. Jika dapat direduksi maka harus direduksi, dan jika tidak dapat direduksi maka harus ada justifikasi dari dokter.
  • Adanya tindakan korektif sehingga dosis tereduksi, mengakibatkan nilai DRL semakin dinamis dan mengalami penurunan.
  • Karena sifatnya yang dinamis dan trennya mengalami penurunan, maka penerapan DRL dapat dimanfaatkan sebagai salah satu upaya optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi.
  • Hal ini sesuai dengan PP No. 33 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa penerapan optimisasi dilaksanakan melalui pembatas dosis dan tingkat panduan untuk paparan medik.
  • Penerapan optimisasi adalah upaya yang harus di tempuh agar besarnya dosis yang diterima serendah mungkin yang dapat dicapai dengan mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi.

Nilai DRL diperoleh dari data dosis atau laju dosis atau aktivitas radionuklida. Nilai DRL ditetapkan pada kuartil 3 (75 persentil) dari distribusi data dosis. Jadi untuk memperoleh nilai DRL dibutuhkan data dosis. Data dosis diperoleh dari survey pengumpulan data dosis.
Data dosis minimal untuk tiap jenis pemeriksaan adalah 10 data. Data minimal tersebut diprioritaskan untuk jenis pemeriksaan yang frekuensinya sangat jarang. Namun jika frekuensinya tinggi maka dianjurkan paling tidak 20 data pasien per bulan. Pengumpulan data tersebut dapat menggunakan fasilitas aplikasi Si-INTAN.
Setelah data terkumpul dalam rentang waktu tertentu, misalnya 1 atau 2 tahun maka seluruh data dibuat distribusi untuk tiap jenis pemeriksaan dan ditetapkan nilai DRL pada kuartil 3. Sehingga diperoleh nilai DRL untuk tiap jenis pemeriksaan.

Setelah nilai DRL ditetapkan, bagaimana menggunakannya? Nilai DRL yang telah diperoleh (disebut DRL1), selanjutnya nilai tersebut dimasukkan dalam dokumen program proteksi dan keselamatan radiasi yang ditetapkan dan ditandatangani oleh pemegang izin. Karena sudah ditetapkan maka harus dilaksanakan. Pemegang izin harus menetapkan masa berlaku DRL1.Misal: 2 tahun.
Personil yang ditunjuk oleh pemegang izin (untuk melakukan pemantauan dosis pasien) harus melakukan pencatatan terhadap dosis-dosis pasien (input data ke aplikasi Si-INTAN). Apabila ditemukan dosis pasien lebih dari nilai DRL1, maka harus di cari sebab dosis melebihi DRL. Misalnya: ukuran pasien besar, pasien bergerak sehingga ada pengulangan, ada pengulangan karena radiografer baru (pelatihan), butuh citra yang bagus mutunya, pasien menjalani seri atau fase yang lebih dari sekali. Dicatat alasannya, kemudian dianalisis dan didiskusikan dengan tenaga medis terkait, untuk mencari kesepakatan tindak lanjut supaya dosis dapat diturunkan. Apabila tidak dapat opsi penurunan dosis maka untuk pemeriksaan tersebut tandai / didokumentasi dan di justifikasi oleh dokter.
Seluruh data dosis yang melebihi DRL harus dicarikan opsi tindak lanjut untuk penurunan dengan tetap mempertahankan mutu citra optimum.
Setelah masa berlaku DRL1 tercapa (2 tahun) maka ditetapkanlah DRL baru yaitu DRL2. Nilai DRL2 ditetapkan berdasarkan data dosis yang dikumpulkan selama berlakunya DRL1. Diharapkan DRL2 nilanya lebih kecil dari pada DRL1.

Iya, kalau selama ini kita menggunakan referensi dosis (DRL) dari IAEA atau referensi lain, maka diupayakan dengan sumber daya nasional yang ada untuk membuat referensi dosis (DRL) sendiri.
Referensi dosis dari luar negeri (DRL luar negeri) dapat saja digunakan sebagai pembanding dengan referensi dosis dari dalam negeri (DRL nasional atau lokal).

Sesuai dengan rekomendasi IAEA dalam GSR Part 3 (BSS baru) Tahun 2014, Negara anggota dapat membuat sendiri referensi dosis (DRL) untuk tiap jenis penyinaran sesuai dengan sumber daya yang dimiliki termasuk untuk prosedur intervensional dengan fluoroskopi.

Pada Perka BAPETEN No. 8 Tahun 2011, yang menggunakan tingkat panduan adalah praktisi medik khususnya dokter. Salah satu tugas dan tanggung jawab dokter spesialis radiologi atau dokter yang berkompeten adalah menjamin paparan pasien serendah mungkin untuk mendapatkan citra radiografi yang seoptimal mungkin dengan mempertimbangkan tingkat panduan paparan medik.

Sesuai dengan GSR Part 3 Tahun 2014, upaya optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi untuk paparan medik dapat ditempuh dengan:
a. pertimbangan disain modalitas yang akan digunakan;
b. pertimbangan operasi;
c. kalibrasi;
d. dosimetri pasien (perhitungan atau pengukuran dosis pasien);
e. tingkat panduan atau diagnostic reference level (DRL);
f. program jaminan mutu untuk paparan medik; dan
g. pembatas dosis (dose constraint) untuk pendamping dan volunter.
Dari 7 upaya optimisasi tersebut, ada 1 upaya, yang apabila dilaksanakan maka 6 upaya yang lain akan ikut terlaksana yaitu DRL.

Berdasarkan amanat UU No. 10 Tahun 1997, badan pengawas (BAPETEN) melakukan pembinaan berupa bimbingan dan penyuluhan mengenai pelaksana upaya yang menyakut keselamatan dan kesehatan pekerja dan anggota masyarakat serta perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Sehingga dapat dipahami bahwa BAPETEN sebagai badan pengawas memiliki tugas melakukan pembinaan dengan untuk mendorong, mempromosikan, memberi asistensi terhadap para pemegang izin dan jajarannya dalam mewujudkan optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi. Oleh karena itu, BAPETEN membuat sebuah portal aplikasi pengumpulan data dosis pasien berbasis web yang diberi nama Sistem Informasi Data Dosis Pasien Nasional (SiINTAN).
Portal web ini dapat di akses melalui situs http://idrl.bapeten.go.id atau ke web www.bapeten.go.id pada menu Bapeten Link, pilih Sistem Informasi Data Dosis Pasien (Si-Intan) pada panel sebelah kiri web. Portal web tersebut dapat dimanfaatkan oleh pemegang izin sebagai sarana untuk melakukan pengumpulan data dosis pasien.

Bagi BAPETEN:
a.Data dosis yang terkumpul digunakan untuk membuat profil atau gambaran dosis radiasi yang diterima oleh pasien untuk tiap modalitas dan jenis penyinaran dalam skala nasional.
b.Apabila diperlukan, untuk berkontribusi data dosis pasien ke UNSCEAR (sebagai negara anggota) sebagai bahan untuk melakukan kajian radiologik.
c.Untuk membuat profil paparan medik (data dosis pasien) di Indonesia dikaitkan dengan prosedur penyinaran, umur, jenis kelamin, perawatan kesehatan. Sebagai informasi mengenai sampai tahap mana capaian outcome BAPETEN sebagai badan pengawas yang harus menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja dan anggota masyarakat serta perlindungan terhadap lingkungan hidup.
d.Mengetahui kecenderungan penggunaan modalitas radiasi pengion; dan
e.Mengetahui tren kecenderungan arah perkembangan pengawasan yang dilakukan oleh BAPETEN dari waktu ke waktu. Sebagai bahan evaluasi dan pengembangan pengawasan.

Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa aplikasi SiINTAN dibuat untuk memfasilitasi upaya pengumpulan data dosis pasien sebagai salah satu langkah optimisasi dosis pasien.
Apabila pihak fasilitas pelayanan kesehatan atau rumah sakit sudah memiliki tool lain sebagai upaya optimisasi proteksi maka penggunaan aplikasi SiINTAN sudah tidak mandatori lagi.
Ilustrasi sederhananya, kita wajib berada di Jakarta dari semarang. Untuk mencapai Jakarta dibutuhkan sarana untuk berpindah dari semarang ke Jakarta. Sarana itu dapat berupa pesawat terbang, kereta, kapal laut, dan kendaraan darat. Memilih dan menggunakan salah satu sarana menjadi wajib sehingga kita dapat memenuhi kewajiban untuk berada pada suatu tempat.

Sesuai dengan Penjelasan Pasal 38 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang dimaksud “rahasia kedokteran” adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang ditemukan oleh dokter dan dokter gigi dalam rangka pengobatan dan dicatat dalam rekam medis yang dimiliki pasien dan bersifat rahasia.

Bentuk jaminan kerahasiaan seperti apa yang diminta masih belum dapat terbayangkan, karena data yang dimasukkan ke dalam aplikasi Si-Intan bukan merupakan “rahasia kedokteran”. Selain itu data tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan nasional.
Pada aplikasi Si-Intan, data yang dimasukkan didalamnya adalah data mengenai nilai dosis radiasi, berat badan, usia, nama pasien dan jenis kelamin. Informasi tersebut hanya dapat diketahui oleh pihak rumah sakit yang meng-input-kan data dan BAPETEN.
Apabila memang diperlukan jaminan kerahasiaan data berupa surat jaminan bermaterai, maka akan kami konsulkan dengan manajemen di BAPETEN.

Ya, sesuai dengan PP No. 33 Tahun 2007 bahwa pemegang izin wajib memenuhi optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi.

Pada PP No. 33 Tahun 2007 dijelaskan bahwa optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi adalah suatu upaya yang harus dilakukan agar besarnya dosis yang diterima serendah mungkin yang dapat dicapai dengan mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi.
Pada PP No. 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif menyatakan bahwa setiap orang atau badan yang akan memanfaatkan tenaga nuklir wajib memiliki izin pemanfaatan tenaga nuklir dan memenuhi persyaratan keselamatan radiasi.
Pada UU No. 10 Tahun 1997, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tenaga nuklir adalah tenaga dalam bentuk apapun yang dibebaskan dalam proses transformasi inti, termasuk tenaga yang berasal dari sumber radiasi pengion. Artinya pesawat sinar-X masuk dalam kategori sumber radiasi pengion. Sehingga dapat dipahami bahwa seluruh rumah sakit atau pun fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki pesawat sinar-X wajib memiliki izin pemanfaatan dari BAPETEN dan memenuhi persyaratan keselamatan radiasi.
Salah satu persyaratan keselamatan radiasi yang harus dipenuhi oleh pihak rumah sakit apabila menggunakan sumber radiasi pengion adalah persyaratan proteksi radiasi.
Berdasarkan PP No. 33 Tahun 2007, pemegang izin dalam memanfaatkan tenaga nuklir wajib memenuhi persyaratan proteksi radiasi yang meliputi:
a.justifikasi pemanfaatan tenaga nuklir;
b.limitasi dosis; dan
c.optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi
Ilustrasi sederhana, jika rumah sakit memiliki izin pemanfaatan sumber radiasi pengion dari BAPETEN maka rumah sakit wajib memenuhi optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi yaitu menjamin dosis yang diterima oleh pekerja dan pasien serendah mungkin yang dapat dicapai.

Pemilik fasilitas harus menjamin dosis yang diterima oleh pekerja dan pasien serendah mungkin yang dapat dicapai dengan tetap memperhatikan faktor sosial ekonomi dan kualitas citra.

Tentu tidak dengan surat keterangan bermaterai.
Langkah-langkah yang harus ditempuh oleh pemilik fasilitas untuk melakukan upaya optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi adalah melaksanakan:
a.pertimbangan disain modalitas yang akan digunakan;
b.pertimbangan operasi;
c.kalibrasi;
d.dosimetri pasien (perhitungan atau pengukuran dosis pasien);
e.tingkat panduan atau diagnostic reference level (DRL);
f.program jaminan mutu untuk paparan medik; dan
g.pembatas dosis (dose constraint).

Optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi diterapkan untuk pekerja dan pasien. Pada PP No. 33 Tahun 2007, diperoleh informasi bahwa penerapan optimisasi proteksi dilaksanakan melalui:
a.pembatas dosis; dan
b.tingkat panduan untuk paparan medik.
Pembatas dosis digunakan untuk optimisasi dosis yang diterima oleh pekerja dan anggota masyarakat. Sedangkan tingkat panduan paparan medik digunakan untuk optimisasi dosis yang diterima oleh pasien dalam pemeriksaan radiologi diagnostik dan intervensional dan kedokteran nuklir.
Pada PP No. 33 Tahun 2007, menyatakan bahwa praktisi medik wajib menggunakan tingkat panduan untuk paparan medik pada saat melaksanakan prosedur radiologi diagnostik dan intervensional, dan kedokteran nuklir untuk mengoptimumkan proteksi terhadap pasien.

Upaya optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi adalah melaksanakan:
a.pertimbangan disain modalitas yang akan digunakan;
b.pertimbangan operasi;
c.kalibrasi;
d.dosimetri pasien (perhitungan atau pengukuran dosis pasien);
e.tingkat panduan atau diagnostic reference level (DRL);
f.program jaminan mutu untuk paparan medik;

Pengumpulan data dosis pasien dapat digunakan untuk membuat / menyusun atau menetapkan tingkat panduan atau diagnostic reference level (DRL). Tingkat panduan dapat dibuat ditingkat lokal oleh rumah sakit sendiri atau juga dapat ditentukan secara nasional oleh BAPETEN. Tingkat panduan secara periodik harus dievaluasi dan diperbaharui sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berhubungan dengan proteksi dan keselamatan radiasi.

Nilai dosis radiasi tiap pasien yang menjalani pemeriksaan dengan modalitas radiasi pengion diperoleh dari pengukuran dosis secara langsung maupun tidak langsung. Pengukuran langsung menggunakan alat ukur dosis yang dapat dibaca secara langsung hasilnya seperti menggunakan sistem TLD yang ditempelkan pada pasien atau fantom, dan detektor solid state atau pun kamar ionisasi dengan fantom. Sedangkan pengukuran tidak langsung menggunakan sistem perhitungan dengan data keluaran radiasi (radiation output) dan parameter yang digunakan untuk penyinaran (kondisi penyinaran tau faktor eksposi).
Selain itu seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pada modalitas tertentu yang diperkirakan dapat memberikan dosis radiasi yang tinggi bagi pasien sudah dilengkapi dengan indikator dosis. Indikator dosis pada modalitas CT Scan adalah nilai CTDI dan DLP. Pada sistem radiografi dan fluoroskopi menggunakan nilai Kerma Area Product (KAP) atau Dose Area Product (DAP).
Sehingga dapat dipahami bahwa untuk memperoleh data dosis radiasi harus dilakukan survei dosis radiasi. Survei dosis radiasi pasien dilakukan secara kontinyu dan periodik. Kemudian hasilnya digunakan untuk menyusun tingkat panduan baru atau dibandingkan ke tingkat panduan yang sudah ada.

Bagi rumah sakit, pengumpulan data dosis pasien dapat digunakan untuk:
a.bahan kajian risiko radiologik;
b.penyusunan tingkat panduan atau DRL secara lokal;
c.salah satu indikator jaminan mutu radiologi;
d.audit klinik; dan
e.medico legal.

Praktisi medik harus melakukan reviu dan melihat rekaman atau catatan yang ada. Hal tersebut untuk mencari alasan kenapa dosisnya melebihi DRL, apakah:
a. Karena ukuran pasien yang besar;
b. Dibutuhkan kualitas citra yang bagus;
c. Fase yang dibutuhkan ada banyak (lebih dari 3 fase);
d. Pemilihan protokol yang tidak tepat;
e. Peralatan belum terkalibrasi;
f. Prosedur penyinaran tidak tepat;
g. Sumber daya manusia kurang kompeten;
h. Terjadi pengulangan penyinaran;
i. Dan lainnya.

Setelah direviu dan dapat diidentifikasi penyebabnya, tentunya harus dilakukan langkah koreksi untuk mencegah hal itu terualng kembali pada pemeriksaan selanjutnya. Misal diperoleh informasi bahwa terjadi pengulangan penyinaran karena efek pergerakan pasien. Maka harus dilakukan pemilihan teknik penyinaran lain sebagai alternatif untuk meminimalkan pergerakan.

Pada kasus belum ada pilihan jenis pemeriksaan yang telah disediakan, maka dapat menggunakan pilihan yang ada dan mendekati, seperti CT Jantung. Kita dapat memilih pada menu "Anatomical Region Protocol" adalah CT Chest, kemudian nanti pada kolom "Comments" diisi dengan CT Jantung. Begitu pula dengan kasus pemeriksaan yang lain. Selanjutnya nanti akan kita samakan persepsi pada pertemuan selanjutnya, untuk diakomodir dan dimasukkan ke dalam pilihan jenis pemeriksaan.

Setelah klik "Survey Baru",
Pada area "Head", Pilih "CT Head" atau memilih pilihan lain yang ada, selanjutnya klik tombol submit:
Kemudian setelah keluar jendela "Setting", selanjutnya pada kolom "Comments", ditambahkan keterangan "CT Ekstrimitas".
Contoh: "CT Ekstrimitas"